Kebanyakan kalau
ada yang minta tolong, ujung-ujungnya hanya sebatas ucapan ‘thanks’.
Kalimat diatas adalah
satu-satunya ungkapan yang paling menggelitik saya saat mengobrol dengan salah
seorang teman. Dia seorang fotografi amatir. Obrolan kami berawal dari
kecemasan saya mengenai apa yang harus dilakukan setelah wisuda nanti. Kami sedang
membicarakan tentang prospek masa depan, tentang apa pekerjaan yang paling
sesuai dengan pola pikir kami mengingat sifat saya dan teman saya yang tidak
mau terikat kontrak kerja yang terlalu lama.
Saya
katakan padanya untuk mendalami profesinya sebagai seorang fotografer lepas
atau bahasa kerennya “freelance”. Namun teman saya ini kelihatan agak bimbang
dan ragu tentang menggeluti pekerjaan yang memang merupakan hobi yang sudah
ditekuninya sejak lama. Dia berpendapat bahwa kalau saja orang-orang memiliki
wawasan luas dan lebih terbuka dalam menyikapi sesuatu maka sudah dari dulu
dia menerima ratusan tawaran permintaan memotret yang kebanyakan berasal dari orang-orang
di lingkungan kampus. “Ini namanya bukan bisnis betulan, ini lebih tepat kalau
disebut ‘bisnis thank you’” kata teman saya sambil tertawa dengan nada mengejek.
Saya bertanya apa yang dimaksud dengan ‘bisnis thank you’ ini dan jawaban darinya
langsung membuat saya paham tentang istilah unik yang baru saya dengar ini.
Ada
beberapa individu yang meminta bantuan jasa tanpa pikir-pikir (saya pakai
istilah yang lebih enak didengar daripada menggunakan kata “mengeksploitasi”). Menurut
hemat teman saya, mereka inilah para pencetus ide “bisnis thank you” yaitu
orang-orang yang menghargai para pekerja jasa dengan dua kata saja “terima
kasih”. Memang tidaklah salah malah sudah seharusnya kita mengucapkan kata ini
jika orang lain menolong kita, tetapi untuk urusan profesionalisme dibidang
usaha jasa bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini?
Tak
bisa dipungkiri bahwa manusia adalah mahkluk sosial dan harus saling tolong
menolong. Namun apakah pantas kata “tolong menolong” dijadikan sebuah tameng
dalam kasus “bisnis thank you” ini? Bagi saya pribadi, mau dibayar atau tidak
dibayar sebenarnya tergantung dari seberapa besar permintaan tolong yang
diterima. Saya berikan contoh dari pengalaman saya sebagai seorang penerjemah
lepas. Misalnya, kalau ada yang meminta bantuan menerjemahkan satu halaman
dengan bahasa yang tidak terlalu rumit maka bukan masalah jika ucapan terima
kasih yang terlontarkan atas hasil kerja saya. Hitung-hitung beramal dan
sebenarnya saya juga diuntungkan karena selain dapat mengaplikasikan ilmu yang
telah saya dapatkan, saya juga bisa belajar lebih saat mengerjakannya. Namun
beda halnya jika saya harus menerjemahkan berpuluh-puluh halaman. Haruskah
hasil kerja saya dihargai dengan ucapan saja hanya karena alasan-alasan yang
bersifat manusiawi?
Pandangan
saya semakin terbuka saat menceritakan hal ini kepada orang tua saya. Beliau
berpendapat bahwa bagi penganut paham “bisnis thank you” ini punya dampak yang
saya tak pernah sangka sebelumnya. Beliau berpendapat bahwa logikanya, terlalu
membuat seseorang nyaman dengan memperbolehkannya menghargai para pekerja jasa
dengan ucapan terima kasih bisa merusak citra kita dimata calon klien. Mungkin
saja si individu yang pernah menghargai kita dengan ucapan andalan ini salah melakukan
promosi kepada orang lain sehingga walaupun banyak order terjemahan yang datang
yang bisa menikmati hasil kerja kita, selain si klien, adalah telinga kita yang
terbuai dengan ucapan ajaib nan manusiawi.
0 comments:
Post a Comment